SAUDARA168 – Asal-usul Desa Jaten di Klaten, Nama yang Diambil dari Pohon Jati Besar

Ilustrasi pohon jati

Liputan6.com, Klaten – – Desa Jaten, yang terletak di Kecamatan Juwiring, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, menyimpan sejarah panjang terkait asal-usul namanya. Nama Jaten berasal dari keberadaan banyak pohon jati di wilayah tersebut.

Dalam bahasa Jawa, kata jati mengalami perubahan akhiran menjadi en, sehingga menjadi Jaten. Dahulu kala wilayah Jaten masih berupa hutan lebat yang didominasi pohon jati.

Mengutip dari berbagai sumber, salah satu pohon jati yang sangat besar, dikenal sebagai pohon jati raksasa, menjadi penanda dalam sejarah desa. Di sekitar pohon tersebut, terdapat makam tua yang dipercaya sebagai petilasan Mbah Danyang.

Ia sosok yang dianggap sebagai pembuka atau “babat alas” wilayah ini. Mbah Danyang, dalam kepercayaan masyarakat setempat, merupakan tokoh yang berjasa membuka permukiman pertama di Jaten.

Tradisi Jawa kerap mengaitkan pendirian sebuah desa dengan adanya sosok danyang atau penjaga wilayah. Makam tua tersebut hingga kini masih dikeramatkan dan menjadi bagian dari ritual masyarakat setempat.

Selain kisah babat alas, sejarah Jaten juga terkait dengan jejak Kerajaan Majapahit. Lereng Gunung Lawu, yang tidak jauh dari wilayah ini, pernah menjadi wilayah kekuasaan Majapahit di bawah Raja Brawijaya VII.

 


2 dari 2 halaman

Kena Pengaruh

Meskipun pusat pemerintahan Majapahit berada di Mojokerto, pengaruhnya menyebar hingga ke daerah Klaten. Akan tetapi, setelah kedatangan Belanda pada akhir abad ke-19, kekuasaan kerajaan-kerajaan Jawa mulai memudar.

Meski sempat ada kekeliruan penyebutan Jaten Sleman, sebenarnya Desa Jaten berada di Kabupaten Klaten. Kekeliruan ini mungkin terjadi karena adanya kesamaan nama dengan daerah lain di Jawa Tengah.

Hingga kini, pohon jati masih menjadi bagian dari kehidupan warga Jaten. Beberapa keluarga bahkan memiliki tradisi menanam jati sebagai warisan untuk anak cucu. Makam Mbah Danyang juga tetap dikunjungi, terutama pada hari-hari tertentu dalam penanggalan Jawa, sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur desa.

Penulis: Ade Yofi Faidzun