SAUDARA168 – Kodok-kodokan, Permainan Tradisional Betawi yang Libatkan Roh Kodok

Dugaan Sihir Bertindak Akibat 2 Kali Pinangan Cinta Pria Ditolak

Liputan6.com, Jakarta – Kodok-kodokan merupakan permainan tradisional Betawi yang dimainkan oleh anak-anak tempo dulu. Konon, permainan ini melibatkan roh kodok.

Disebut kodok-kodokan karena peran utama dalam permainan ini disebut sang kodok. Kodok merupakan sebutan lain untuk katak.

Permainan ini umumnya dimainkan oleh anak laki-laki. Rentang usianya pun beragam, mulai dari 8-13 tahun.

Kodok-kodokan biasanya dimainkan di lapangan atau tanah lapang. Permainan ini membutuhkan arena yang luas karena digunakan sebagai arena berlarian.

Mengutip dari laman Seni & Budaya Betawi, permainan kodok-kodokan juga melibatkan roh dari dunia lain. Dalam Permainan Populer Tradisional Betawi karya Darti Isyanti, permainan ini harus dilakukan dengan memanggil roh kodok.

Dibutuhkan pawang khusus untuk memanggil roh kodok. Roh tersebut akan dipindahkan atau dimasukkan ke dalam tubuh pemeran utama.

Permainan kodok-kodokan dimulai dengan hompimpa dan dilanjutkan dengan suten atau suit. Hompimpa dan suten dilakukan untuk menentukan pemain yang akan bermain lebih dulu sekaligus menentukan pemain yang akan menjadi pawang dan sang kodok.

 


2 dari 2 halaman

Memanggil Roh Kodok

Selanjutnya, pawang seolah-olah memanggil roh kodok untuk dimasukkan ke tubuh pemeran sang kodok. Pemeran sang kodok pun akan melompat dan berlari ke sana kemari mengejar peserta lain.

Sementara itu, peserta lain berlari dan bersembunyi. Mereka menyanyikan lagu ‘kek..kok..kek..kok…’. Sang kodok pun berupaya menyentuh para peserta.

Setelah para peserta panik berlarian, pawang akan datang untuk menghampiri sang kodok. Ia akan memanggil nama sang kodok berkali-kali dengan suara keras berkali-kali.

Jika sang kodok telah sadar, ia akan berperilaku sewajarnya. Saat itulah permainan berakhir.

Permainan kodok-kodokan tidak bertujuan mencari pemenang. Permainan ini berfokus pada kebersamaan, komunikasi, ketangkasan, keseimbangan, dan saling menghargai.

Penulis: Resla