:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/2723398/original/029383800_1549600825-architecture-bungalow-chimney-731082.jpg)
Liputan6.com, Yogyakarta – Belakangan santer terdengar bahwa Indonesia akan menjadi lokasi uji coba vaksin tuberkulosis atau TBC M72 yang dikembangkan Bill Gates. Langkah pemberantasan penyakit kronis ini sebenarnya sudah dilakukan di Indonesia sejak zaman Hindia Belanda melalui fasilitas kesehatan sanatorium.
Mengutip dari laman Direktori Kebudayaan Sleman, keberadaan sanatorium di Indonesia dimulai sekitar 1900-an. Saat itu, TBC dianggap sebagai penyakit yang jarang terjadi di negara tropis.
Pada zaman itu, di Indonesia terdapat beberapa sanatorium yang digunakan untuk pengobatan dan perawatan TBC, salah satunya Sanatorium Pakem di Yogyakarta. Pembangunannya diinisiasi oleh manajemen RS Zending Petronella (RS Bethesda).
Pendirian sanatorium tersebut dilakukan sebagai respons terhadap lonjakan kasus TBC di Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Saat itu, obat dan vaksin untuk penyakit ini belum ditemukan, sehingga sanatorium menjadi solusi untuk mencegah penularan TBC melalui karantina pasien.
Kompleks Sanatorium Pakem dibangun sekaligus sebagai solusi untuk mengatasi kekurangan kapasitas di RS Zending di berbagai kota, seperti Solo, Klaten, Yogyakarta, dan sekitarnya. Pemilihan lokasinya mempertimbangkan jarak yang jauh dari keramaian dan memiliki udara bagus, sehingga dapat mendukung pemulihan pasien.
Akhirnya, Sanatorium Pakem pun didirikan di lokasi yang berjarak 19 kilometer ke utara Yogyakarta. Pembangunannya dirancang oleh kantor arsitektur Sindoetomo pada Oktober 1935, termasuk pemasangan listrik dan pipa air.
Pada 23 Juni 1936, pembangunan Sanatorium Pakem rampung dan diresmikan oleh Sultan Hamengkubuwono VIII. Peresmian tersebut dihadiri oleh Kepala Residen Yogyakarta J Bijleveld dan Direktur Petronella Hospitaal Dr. K.P Groot.
Mengutip berbagai sumber, Sanatorium Pakem menjadi salah satu dari tiga sanatorium di Indonesia yang saat itu beroperasi. Bangunan ini menggunakan konsep paviliun yang biasa digunakan pada bangunan-bangunan karantina.
Terpisah
Ruang bangsal perawatan dan pelayanan ditempatkan terpisah. Terdapat dua bangsal yang masing-masing dapat menampung 48 ranjang pasien. Pada 1937, bangunan diperluas, sehingga kapasitasnya pun bertambah dan bisa menampung sekitar 98 ranjang per bangsal.
Tenaga medis yang ditugaskan untuk menangani pasien di sanatorium ini adalah spesialis paru-paru. Mereka mendapat rumah dinas yang lokasinya berada di dalam kompleks sanatorium. Bangunan ini juga dilengkapi dengan berbagai alat penunjang, termasuk alat sinar X-ray.
Pada 1944, antibiotik ditemukan dan proses vaksinasi mulai dilakukan. Langkah ini sekaligus menamatkan fungsi sonotarium karena TBC bukan lagi dianggap sebagai penyakit serius.
Usai kemerdekaan RI, Sanatorium Pakem sempat berfungsi sebagai RS Paru Pakem Sleman setelah proklamasi kemerdekaan. Pada 1967, Sanatorium Pakem resmi tutup dan dialihfungsikan menjadi tempat perawatan, pelatihan, dan pendidikan untuk tuna grahita oleh Yayasan Kristen Panti Asih Pakem.
Saat ini, sebagian eks bangunan Sanatorium Pakem berfungsi sebagai Panti Asuhan Panti Asih, Taman Lansia Ceria Bethesda, dan SLB C1 Panti Asih Pakem. Bangunan gereja di dalamnya, Gereja Kristen Jawa Pakem, juga masih beroperasi hingga saat ini.
Penulis: Resla
Leave a Reply